AJI Balikpapan Biro Banjarmasin: Media Massa Patuhi Pedoman Pemberitaan Bunuh Diri

Ilustrasi bunuh diri. (Foto: Medkom.menkes.go.id)

Katajari.com Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Balikpapan Biro Banjarmasin mengimbau media massa untuk mematuhi pedoman pemberitaan terkait tindak dan upaya bunuh diri.

Ditemukan masih banyak media massa yang melanggar pedoman dengan menampilkan foto dan gambar korban dalam kondisi tragis pada aksi bunuh diri yang terjadi pada 30 September lalu di Kota Banjarbaru, Kalimantan Selatan. Padahal, hal tersebut dapat menimbulkan trauma bagi masyarakat yang melihat atau menyaksikannya.

Selain itu, sejumlah media juga menuliskan secara rinci lokasi kejadian serta nama lengkap korban. Hal ini berpotensi membawa dampak sosial negatif bagi keluarga korban dan menambah beban psikologis mereka.

Tak hanya itu, beberapa media turut menyebutkan secara detail cara serta alat yang digunakan dalam aksi bunuh diri, baik di judul maupun isi berita. Hal ini berpotensi diikuti oleh orang yang membacanya.

“Pemberitaan bunuh diri sebaiknya diletakkan dalam konteks isu kesehatan jiwa, bukan sebagai isu kriminalitas. Sebab, kasus bunuh diri tidak disebabkan oleh faktor tunggal,” ujar Rendy Tisna, Koordinator AJI Balikpapan Biro Banjarmasin, Rabu (2/10/2024)

Peraturan terkait pemberitaan bunuh diri telah ditetapkan oleh Dewan Pers pada 22 Maret 2019 melalui Peraturan Nomor 2/PERATURAN-DP/III/2019. Ada 20 aturan yang harus dipatuhi, di antaranya:

1. Wartawan harus mempertimbangkan secara saksama manfaat sebuah pemberitaan bunuh diri. Jika berita dibuat, harus diarahkan pada kepedulian terhadap masalah yang dihadapi korban, bukan justru mengeksploitasi kasus tersebut sebagai berita sensasional.

2. Pemberitaan bunuh diri harus diposisikan sebagai isu kesehatan jiwa, bukan kriminalitas, karena kasus bunuh diri tidak disebabkan oleh faktor tunggal.

3. Wartawan menyadari bahwa pemberitaan bunuh diri dapat menimbulkan trauma bagi keluarga, teman, dan orang-orang yang mengenal pelaku.

4. Wartawan menghindari pemberitaan yang memberi stigma kepada orang yang bunuh diri atau mencoba bunuh diri.

5. Wartawan harus menghindari penyebutan identitas korban serta lokasi bunuh diri secara rinci agar tidak mempermalukan pihak keluarga. Identitas meliputi semua data yang dapat memudahkan orang lain melacak korban.

6. Wartawan harus menghindari penyebutan lokasi spesifik, seperti jembatan atau gedung tinggi, yang pernah menjadi lokasi bunuh diri, untuk mencegah aksi serupa.

7. Saat mewawancarai keluarga atau orang dekat korban, wartawan perlu mempertimbangkan pengalaman traumatis mereka.

8. Dalam mempublikasikan gambar, foto, suara, atau video terkait bunuh diri, wartawan harus mempertimbangkan dampak peniruan (copycat suicide), terutama terkait tindakan bunuh diri oleh pesohor, artis, atau tokoh idola.

9. Wartawan harus menghindari ekspos gambar, foto, suara, atau video yang bisa menimbulkan trauma bagi masyarakat.

10. Wartawan penyiaran harus menghindari siaran langsung ketika seseorang berniat melakukan aksi bunuh diri.

11. Wartawan harus menghindari penyiaran secara rinci cara atau teknik bunuh diri, termasuk tidak mengutip secara detail informasi dari dokter atau penyidik kepolisian.

12. Wartawan harus menghindari penggunaan bahan dari media sosial, seperti foto, tulisan, atau video, terkait korban bunuh diri.

13. Wartawan harus menghindari pemberitaan ulangan tentang seseorang yang pernah mencoba bunuh diri.

14. Wartawan harus menghindari pemberitaan yang menggambarkan bunuh diri sebagai respons “alami” terhadap masalah, seperti kegagalan atau krisis keuangan, dan tidak menguraikannya sebagai tindakan heroik.

15. Pers harus menghindari eksploitasi pemberitaan bunuh diri dengan mengulang-ulang pemberitaan yang sudah terjadi.

16. Wartawan harus hati-hati dalam penggunaan diksi dan menghindari penggambaran yang hiperbolik. Data statistik harus diperlakukan dengan hati-hati dan sumber yang jelas.

17. Pers harus menghindari menempatkan berita bunuh diri di halaman depan, kecuali dalam penulisan mendalam mengenai situasi kesehatan masyarakat.

18. Wartawan diperbolehkan menulis secara lebih rinci jika berfokus pada pengungkapan kejahatan yang terkait dengan kematian yang semula diduga sebagai bunuh diri.

19. Jika media memutuskan memberitakan bunuh diri, berita tersebut harus diikuti dengan panduan pencegahan bunuh diri, seperti informasi kontak lembaga bantuan.

20. Pemberitaan bunuh diri tidak boleh dikaitkan dengan hal-hal gaib atau mistis.

Sesuai Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers, media yang tidak melayani Hak Jawab selain melanggar Kode Etik Jurnalistik juga dapat dijatuhi sanksi hukum pidana denda hingga Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). (kjc)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *