Ditambah, pandemi Covid-19 yang memaksa percepatan teknologi membuat banyak orang bisa bekerja kapanpun dan di manapun, sehingga tidak mengenal waktu, dan tanpa disadari membahayakan kesehatan pekerja itu sendiri.
“Kalau kimia kan yang kena cuma fisik, tapi kalau long working hours bisa kena semuanya fisik, psikis, macam-macam, jadi ketika banyak hal yang diserang akan semakin membahayakan,” ujar National Project Officer Lead ILO Jakarta, Abdul Hakim kepada suara.com di Gran Melia Hotel, Jakarta Selatan, Senin (28/3/2022).
Abdul mengatakan, jam kerja yang panjang akan berdampak pada berbagai hal, selain fisik yang lelah tapi juga pikiran, mental, dan stres yang mudah melanda. Jika sudah seperti itu, kata Abdul, yang terjadi adalah serangan berbagai penyakit.
“Punggung kita, yang diluar makin berat, kepala kita, belum lagi yang psikis, emosi stres dan lain sebagainya,” jelas Abdul.
Ia melanjutkan, idealnya setiap pekerja harus memiliki work life balance atau kehidupan yang seimbangan, antara mencari kegiatan ekonomi, bersosialisasi hingga keperluan ibadah.
“Orang kalau nggak ngobrol, kalau nggak hangout, kalau nggak ibadah bagaimana mungkin, itu bukan untuk bekerja. Jadi hidup itu bagaimana menyeimbangakan kehidupan pribadi, kerja, kehidupan ibadah itu yang paling penting, itu membuktikan bahwa exposure long working hours itu membahayakan,” paparnya.
Selain itu ILO juga percaya bahwa dengan pihak perusahaan maupun pekerja menerapkan work life balance maka di sanalah produktivitas pekerja akan meningkat, yang justru akan semakin menguntungkan perusahaan tersebut.
Adapun aturan menghindari long working hours masuk dalam poin K3 Indonesia maupun Internasional. Bahkan poin ini masuk dalam konvensi ILO, yang mengatakan bahwa long working hours tidak bisa diandalkan perusahaan.
“Long working hours sudah jadi konvensi ILO nomor 1, yaitu jam kerja penting untuk ditaati, 8 jam ya 8 jam, jangan nambah,” tegas Abdul.
Sekadar informasi, temuan WHO yang dirilis pada 17 Mei 2021 menemukan jam kerja yang panjang menyebabkan tidak kurang 745.000 kematian akibat stroke dan penyakit jantung iskemik pada 2016, meningkat 29 persen dibanding pada 2000.
Data ini adalah data global, karena menggunakan lebih dari 2.300 survei yang dikumpulkan di 154 negara dari tahun 1970 hingga 2018. (suara.com)